Plain

 

Plain

Cerita ini barangkali tidak seromantis cerita cinta yang lainnya. Aku memang tidak bisa puitis, bahkan untuk seseorang yang penting seperti kamu. Tetapi kamu sekadar harus tahu, minimal ketika kamu membaca cerita ini. Percayalah ketika aku menulis cerita ini, tidak ada keinginan apapun untukku selain mengenang sesuatu yang pernah terjadi di antara kita. Hal yang mungkin sudah sukar untuk terulang kembali.

Kamu adalah orang yang rajin. Hanya itu yang kutahu ketika pertama kali melihatmu. Kamu bukan anak populer di sekolah, karena itulah aku tidak pernah menjumpaimu. Mungkin pernah, tetapi aku tidak mengenalmu, jadi kamu hanya kuanggap sebagai salah satu siswa yang kebetulan satu sekolah denganku. Tentang namamu, aku pernah mendengarnya. Temanku yang satu organisasi denganmu pernah menceritakan tentang kamu. Tetapi sekali lagi saat itu aku tidak mengenalmu, jadi namamu hanya kuanggap sebagai salah satu nama yang pernah kudengar.

Hingga suatu hari kita, aku dan kamu, dipertemukan pada sebuah perkumpulan. Aku tidak tahu apa-apa tentang kamu, yang kutahu mulai saat itu kamu adalah ketua perkumpulan. Entah bagaimana ceritanya tiba-tiba kamu menunjukku untuk menjadi wakilnya. Itu bukan masalah, aku sudah terbiasa. Yang menjadi masalah adalah ketika kamu salah mengucapkan namaku, hurufnya terbalik. Sungguh, kamu sangat lucu saat itu.

Aku tidak pernah menyangka aku bisa menemukan sosok seperti kamu di hidupku. Jika aku melihat dari wajahmu, kamu terkesan anak yang sukanya hanya bermain-main. Semakin kesini kamu memperlihatkan sifat aslimu. Yang aku tangkap dari  setiap pertemuan kita adalah, kamu anak yang baik. Kamu pendiam, humormu juga bagus, kamu rajin (seperti dugaan awalku), kamu pintar memasak, dan yang terpenting kamu ramah. Aku tidak tahu itu hanya di depanku atau di depan semua orang, karena temanku yang telah mengenalmu terlebih dahulu mengatakan bahwa kamu anak yang sinis.

Dari semua sifat yang telah aku sebutkan tadi, bukan tidak mungkin jika aku jatuh hati ketika terlalu sering bersamamu. Sayangnya ketika itu aku sudah memiliki tambatan hati. Dia satu tahun lebih dulu daripada kita, iya dia kakak kelasku. Aku tidak memiliki hubungan apapun dengan kakak kelas itu, walaupun aku sudah mengode dan mungkin dia juga sudah tahu. Dia tipe yang sama dengan kamu, pendiam. Bahkan jauh lebih pendiam daripada kamu. Karena itulah, ketika dia memberi secercah harapan aku berharap lebih. Walaupun ujungnya aku tetap digantungkan.

Semakin hari kita semakin dekat, sudah tidak ada canggung lagi. Tidak seperti pertama kali ketika kamu mengirimiku pesan via whatsapp tentang tugas proyek kita. Percayalah, aku tidak menutupi semuanya. Kita pernah sedekat itu. Ketika aku mengirimimu pesan duluan, aku kira pesanku akan kamu abaikan. Aku tidak berprasangka buruk. Hanya saja temanku bilang jika kamu sering mengabaikan pesan dari teman-teman perempuan. Ternyata jauh dari perkiraan kamu membalas dengan ramah.

Oi

Oi juga

Borring ya?

Iya, kok kamu tahu?

Tahulah, akukan peramal!

Masa? Kayak Dilan aja...

Ya memang

Jika saja ketika itu hatiku belum jatuh, mungkin aku akan menamaimu Dilanku. Belum lagi ketika kamu membelikanku es cokelat. Yah, walaupun itu hanya syarat jika aku menolongmu sih. Padahal jika kamu menolak aku tidak akan marah. Tapi kamu tetap memilih untuk memenuhi syarat itu. Jujur saja saat itu pertama kali pertahanan hatiku hampir kamu robohkan.

Yang keduanya adalah ketika kamu terlihat peduli. Padahal jika melihat kehidupanmu biasanya kamu adalah seseorang yang cuek. Kamu ingat? Ketika aku dulu pernah mengumpat dan mengucap kata “Bodoh,” kamu sempat menasihatiku.

“Kenapa kamu ngumpat?”

“Aku enggak ngumpat,” belaku.

“Enggak ngumpat tapi berkata kotor,”

“Enggak! Aku cuma bilang B-O-D-O-H dibaca bodoh,”

“Tapi kamu sambil marah, jadi itu namanya ngumpat,”

“Iya-iya, maaf,”

“Jangan ngumpat-ngumpat. Nggak baik. Jangan diulangi lagi,” aku mengangguk. Yang kupikirkan saat itu adalah, kamu teman yang baik sudah mengingatkanku pada kebiasaan buruk. Kukira kamu mengingatkan semua temanmu tentang hal itu. Lagi-lagi dugaanku meleset. Ketika temanmu yang lain mengumpat lebih kasar di samping kita, kamu diam saja tidak mengingatkannya. Terlalu percaya diri tidak sih, jika aku menganggap perhatian kamu itu khusus?

Ketika kamu membaca cerita ini, mungkin banyak sekali hal yang membuat kamu marah. Termasuk ketika aku akan berbicara mengenai suatu hal. Sebenarnya dulu ketika kita mengerjakan tugas proyek berdua, aku pernah menguji seberapa besar kakak kelas itu menyukaiku. Iya, aku mencoba membuatnya cemburu dengan kedekatan kita dan itu berhasil. Maafkan aku jika ketika itu kamu merasa bahwa aku memberimu harapan.

Jika memang benar kamu pernah merasa kuberi harapan, ketahuilah! Aku juga pernah merasakan hal yang sama. Ketika diadakan sebuah event besar antarkelas, aku menjadi ketua ketika event itu. Aku bukan ketua kelas, hanya dijadikan ketua ketika event itu saja. Teman laki-lakiku banyak yang tidak peduli ketika hari itu. Tetapi kamu? Kamu menanyaiku apa yang aku butuhkan, kamu sudah bersiap menolongku. Tidak peduli bahwa ini perlombaan antarkelas. Saat itu kamu yang notabene sainganku sudah mendekat dan hendak menolongku, sebelum temanmu memintamu untuk segera mengurus yang lain. Apakah itu belum layak untuk disebut sebagai..... kode?

Tidak hanya berhenti di situ saja, ketika aku membereskan sisa-sisa acara, kamu melihatku dan memulai percakapan.

“Kamu rajin,”

“Iya dong,” ujarku bercanda.

“Ya jelaslah, kamu kan ketua,”

“Iya,”

“Semangat ya,”

Aku hanya tersenyum menanggapi hal itu. Hingga aku baru tersadar, kenapa kamu bisa tahu jika aku adalah ketua? Memang wajar jika kamu tahu siapa ketua kelasku. Tapi ini? Aku hanya ketua event ini saja. Lagipula jika temanku yang memberitahu hal ini, apa untungnya bagi mereka memberitahumu. Sementara keadaan kita saat itu sedang bersaing. Aku saja sebagai ketua tidak tahu menahu tentang ketua-ketua yang lain. Tidak apalah, tidak usah diperpanjang. Meskipun itu terlihat jika kamu sedikit stalker. Aku juga pernah stalker tentang kamu.

Beberapa bulan sebelum kelulusan angkatan sebelum kita, semakin banyak waktu yang aku lalui bersama kamu. Semakin banyak acara yang mengharuskan kita bekerjasama. Hingga sejenak aku mulai merasakan, ada seseorang yang menyukaiku dan dia peduli kepadaku. Bukan hanya aku yang merasa seperti itu, temanku juga banyak yang merasakan bahwa kamu memang punya sedikit rasa suka walau kamu sangat pintar untuk menutupinya. Bahkan mereka menyarankan untuk melepas saja perasaanku dari kakak kelas itu, mereka tidak suka melihat aku terus digantungkan tanpa kepastian. Bersama kamu mereka merasakan bahwa aku bisa lebih bahagia. Tapi seperti itulah sukaku dengan dia, aku sudah menyukainya sejak 2 bulan masuk sekolah. Tidak mudah bagiku untuk berhenti, walau aku juga merasa lebih bahagia bersamamu.

Hingga tiba saat kelulusan itu tiba. Aku masih belum bisa berhenti menyukainya walau teman-temanku terus merecokiku dengan kamu. Kamu juga senyum-senyum saja ketika mereka mengodamu. Menimbulkan tanya di benak temanku yang tahu bahwa kamu tidak sering seperti itu jika digoda. Jujur saja setelah dia lulus aku merasa kosong. Dan kamu? Kamu membuatku merasa memiliki harapan.

Semakin lama teman-temanku semakin sering menggoda kita. Bahkan teman-temanmu juga sudah mulai tahu. Aku sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa. Dia yang selama ini aku sukai kembali menggores luka pada hati yang baru saja sembuh. Aku butuh penawar untuk luka ini, dan kamu memiliki penawarnya. Sebenarnya aku ingin menemuimu lagi. Namun teman-temanku terus saja menggodaku, menggodamu ketika lewat di depan kami. Meskipun kamu tampak tersenyum, tetap saja aku merasa tidak enak kepada kamu. Perlahan semuanya berbeda, kita mendadak canggung. Ketika dulu aku bisa menyapamu dengan akrab, sekarang untuk sekadar tersenyum kepadamu saja rasanya sulit. Setelah meneguhkan hati, aku mencoba mengirimimu pesan. Panjang, yang intinya ketika temanku merecoki kita, kamu bisa menganggapnya hanya sebagai guyonan. Kamu tidak perlu mendengarkannya. Aku menunggu lama balasan pesan itu dan kamu hanya membalas singkat “y”.

Saat itu aku hanya tersenyum mirirs. Itu mungkin menjadi pesan terakhir antara kita. Pesan canggung setelah sebelumnya sempat terhubung. Pesan yang menjadi akhir dari cerita ini. Cerita ini mungkin tidak lama, hanya sekitar 10 bulan. Tapi cerita ini berkesan, karena itulah aku menuliskannya kembali. Menuliskan kembali untuk menegaskan aku rindu kamu. Seandainya aku bisa lebih kuat mengatakan kepada teman-temanku agar berhenti, mungkin kita tidak akan secanggung ini. Seandainya aku memilih bahagia bersamamu dan cepat melupakan dia, mungkin tidak seperti ini. Sekarang kita sudah tidak bisa berandai lagi. Biarkan cerita ini berakhir sampai di sini saja. Setidaknya kamu sudah tahu, bahwa aku sangat rindu bersama kamu. Dan setidaknya kamu juga sudah tahu, kita memang pernah sedekat itu. Bagiku itu sudah cukup. (15/02/19)

...

Cerita ini sudah saya buat lama sekali. Sudah berbelas purnama yang lalu. Namun, ketika saya membaca kembali cerita ini, saya kembali merasakan vibes yang sama ketika saya menuliskannya dulu. Dan saya pikir tidak ada salahnya membagikan cerita yang menurut saya memang tidak ada manis-manisnya, haha. Terima kasih untuk teman-teman yang sudah berkenan membaca. Peluk hangat dari saya.

-TimTrayn

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Produktif Bersama ASUS ExpertBook B3 Flip (B3402), Pelopor 4G LTE di Indonesia

24 Mei 2020

Gadis Gerimis